Media | Berita | Penerbitan

Friday 13 March 2015

Perjalan Hidup Natalina

[FIKSI] NATALINA, perempuan berbadan tegap dengan rambut sebahu, mengenakan seragam sekolah putih abu-abu dengan semangatnya memangkul tanpi--penganan terbuat dari bambu, berisikan kue basah tradisional olahan Ibunya--Surningsi, untuk dijajalkan sewaktu jam istirahat di Sekolah Menengah Atas (SMA), tempat dia menuntut ilmu.
 
Setiap hari Natalina berjualan kue tradisional disaat jam istirahat, semua itu harus dilakukan untuk memenuhi keperluan sekolahnya dan juga adiknya--Andre, yang masih duduk dibangku Sekolah Dasar. Ibunya, juga bejualan kue tradisional dengan berjalan kaki di kota untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Rumah tempat Natalia termasuk hunian tak layak, ukuranya 2meter X 4meter dengan dinding berpapankan seng bekas berkarat, atapnya terbuat dari empat drum aspal yang sudah dilebarkan. Untuk menutupi dinding yang karatan itu, Natalina mengunakan kardus bekas yang dipungut dari tong sampah di depan rumah warga sewaktu melintas hendak pulang sekolah.

Di rumah kecil itulah, Natalina, Andre, dan Ibunya, Surningsi, menjalani hidup tanpa kepala rumah tangga, yaitu seorang ayah bagi Natalina dan Andre, juga sebagai suami untuk Surningsi.

Kepahitan hidup, mereka alami berawal ketika ayah Natalina menikah lagi dan menceraikan Surningsi hingga mengusirnya dari rumah mereka. Natalina dan Andre memilih untuk ikut bersama Ibunya.

Ibu Natalina adalah keturunan Jawa, datang ke kota Medan bekerja sebagai pembantu rumah tangga, tak satu pun sanak saudaranya tinggal di kota itu. Surningsi berkenalan dengan pria yang menjadi suami dan menjadi ayah bagi Natalina dan Andre.

Waktu itu, Selasa, 10 tahun silam, Natalina, Andre, dan ibunya Surningsi diusir dengan keji. Malam hari akan segera tiba, tak ada yang bisa mereka perbuat, sekedar untuk menyewa sebuah ruang lesehan pun tidak bisa.

Malam itupun tiba, hitam gelap ditemani remangnya lampu jalan yang sudah usang, mereka berhenti disebuah teras rumah yang megah dalam tahap pembangunan. Mereka tidur di teras rumah megah itu, sunyi, dan dingin menggigit kulit.

"Kenapa Bapak mengusir kita Bu?" Ujar Andre kepada Ibunya sambil menangis.
Surningsi mendekap Andre dengan erat, air matanya menetes hingga terjatuh di kening Natalina yang juga saat itu menangis dengan anggukan kecil.

Larut mulai terasa, Surningsi memperhatikan kedua buah hatinya sudah terlelap walau tanpa selimut, Surningsi membuka tas hadang yang dibawanya dari rumah, lalu mengambil kain sarung untuk dilebarkannya ke kedua anaknya itu.

Dalam hati, Surningsi mengutuk kelakuan suaminya itu agar menerima azab yang setimpal. Entah karena bencinya terhadap suaminya atau memikirkan jeratan hidup yang dijalani oleh Surningsi, matanya tertutup dan tertidur dengan air mata di pipi.

"Tok, tok, tok," bunyi itu terdengar oleh Surningsi, dilihatnya ada bayangan manusia di depan persis di halaman bangunan itu. Surningsi terbangun sadar dan dilihat dengan jelas bahwa itu tukang yang merenovasi rumah megah itu sedang menancapkan paku ke papan dengan palu

"Maaf Bu, kami mau bekerja, tolong Ibu bangunkan anak-anaknya, di sana ada tempat untuk berteduh." Kata lelaki hitam pakai topi, pekerja rumah itu, sambil menunjuk sebuah gubuk.

"Nat, Andre, bangun Nak." Ujar Surningsi membangunkan kedua buah hatinya. Lalu mereka meninggalkan rumah megah itu menuju tempat yang ditunjuk oleh kuli bangunan pada Surningsi.

Sampailah Surningsih bersama anak-anaknya di tempat berteduh yang disebutkan kuli bangunan itu, tempat dengan ukuran 2meter X 4meter menempel di tiang tonggak listrik, rumput ilalang tumbuh mengelilingi bangunan kecil itu.

Dari situlah awal kehidupan keluarga Surningsi, menjalani hari-harinya hingga bisa melanjutkan sekolah kedua anaknya.

Lingkungan sekitar tempat tinggal Surningsi pun bisa menerima kehadiran mereka, warga berdatangan memberi perlengkapan, juga mendukung dan memberi uang agar Surningsi membuat kue tradisional untuk dijual.

Natalina pun ikut membantu Ibunya untuk menjual kue. Gadis putih nan elok dipandang mata lelaki itu, tidak malu menjajalkan kue saat jam istirahat sekolah, para guru di sekolah memuji kemauan tekad Natalina.

Banyak yang menggoda Natalina saat menjual kue, apalagi kakak kelasnya selalu suka merayunya saat membeli kue, begitu juga guru biologi di sekolahnya itu.

Setiap hari di sekolah, guru biologinya membeli kue dari Natalina, kadang Natalina disuruh masuk ke ruangannya dan merayunya. Tulisan ini bukan mengarah Vulgar, mari coba kita bayangkan, Natalina sosok wanita yang membuat lelaki menelan ludah, bahenol. Bisa dikatakan Natalina perempuan yang mampu menaikkan birahi.

Jailnya lelaki kepada Natalina sudah biasa, Natalina tak memperdulikan semua itu, kecuali guru biologinya itu. Saking sering membeli kue dengan membayar tapi tidak menerima uang kembaiannya, membuat Natalina sungkan kepada gurunya itu.

Natalina pun ternoda oleh kelakuan sang guru, ketika saat membayar kue, guru biologi itu menyusupkan uang bayaran kue langsung ke saku baju SMA yang dikenakan Natalina. Hingga sekitar satu menit lamanya tangan si guru bertahan. Natalina tidak bisa bicara, wajahnya memerah, lalu guru itu mencabut tangannya dari saku Natalina yang tepat di daerah dada.

Sentuhan guru biologi itu adalah sentuhan lelaki yang dirasakan Natalina, kejadian itu semakin sering terulang dialami, bahkan kelakuan sang guru tidak lagi sebatas sentuhan. Ciuman dan pelukan pun sudah dirasakan oleh Natalina dari gurunya itu.Kelakuan itu pun berlanjut dilakukan.

Natalina pun akan memasuki Ujian Nasional, metode belajar pun ditingkatkan di sekolah itu dengan menambahkan les sore. Waktu itu, jam les sore sudah selesai dan Natalina hendak pulang. Di gerbang sekolah, guru biologi itu menyodorkan tumpangan untuk mengantarkan Natalina pulang ke rumah dan Natalina mengiakannya.

Natalina memasuki mobil Honda Jazz milik gurunya itu, mereka jalan namum bukan arah rumah Natalina.

"Ini bukan arah rumah saya, Pak," ucap Natalina.

"Kita singgah dulu ke rumah saya sebentar." Gurunya menjawab ucapan Natalina.

Sampailah di lokasi perumahan elit, mobil diparkirkan di depan rumah bertingkat bercat putih. Guru biologi itu keluar dari mobil, tapi Natalina masih tetap di dalam.

Guru itu berjalan mendekati pintu mobil sebelah kiri lalu membuka dari luar dan berkata, "silahkan turun tuan Putri, kita sudah sampai di istanaku."

"Pak, saya tunggu di mobil saja, nanti dilihat orang," ucap Natalina.

"Aku ingin memberikan sesuatu untukmu," ujar guru biologi.

Natalina pun menurut kepada guru itu dan mereka berjalan menuju pintu depan rumah megah bertingkat itu.

Mereka sudah di dalam rumah, guru Natalina itu menutup pintu dan secara mendadak memeluk Natalina dari belakang. Natalina terkejut, namun tak merontah.

Natalina dipapa ke arah kamar di ruang tengah rumah itu dan membaringkannya di atas tempat tidur yang empuk.

"Natalina, maukah engkau menikah denganku?" Ujar si guru.

"Bapak ngomong apa? Aku kan masih anak SMA?" Ucap Natalina.

"Aku sudah meniatkan dirimu untuk pendamping hidupku, maukah engkau hidup bersamaku?" tanya gurunya.

"Bagaimana dengan status aku masih sekolah? Lagian, apa Bapak, mau menerima keadaan keluargaku?" Natalina kembali bertanya.

"Aku sudah tahu keadaan keluargamu, bukan karena aku kasihan kepadamu. Tetapi ada rasa ingin memilikimu." kata guru itu kepada Natalina.

Natalina menjawab. "Aku bersedia, Pak. Tapi ....."

"Tapi apa?" gerutuh guru itu.

"Bagaimana caranya kita bersatu? Aku anak sekolah? Apakah aku harus putus sekolah?" ujar Natalina.

Tiba-tiba sang guru memegang dan meletakkan telapak tangan kanan Natalina tepat di atas kepala si guru dan berkata.

"Aku berjanji, seusai engkau lulus sekolah, kita akan menikah. Sebagai tanda keseriusan diriku untuk mempersuntingmu, mulai besok aku, kamu, dan keluargamu akan tinggal di rumah ini." kata guru itu dengan sungguh-sungguh.

"Aku menyayangi, Bapak." ucap Natalina disertai tangis bahagia.

Guru itu pun mencium kening Natalina, lalu memeluknya dengan penuh kasih sayang yang dibarengi gairah. Dan tak terasa, adegan suami istri pun mereka lakukan.

Tidak terasa, malam mulai hadir. Mereka bergegas ke rumah Natalina. Sesampai di rumah, Surningsi, Ibunya Natalina menanyakan putri pertamanya itu.

"Darimana saja kamu, Nat? Pulang sampai malam begini." Tanya Surningsi.

"Maaf, Bu." Jawab guru itu.

"Ehhh, Adek ini siapa? Kok bisa bareng Natalina?" Tanya Surningsi pada Guru itu.

"Namaku Edo, aku guru biologi disekolah Natalina." Jawab guru Natalina yang bernama Edo itu.

"Guru? Ada masalah apa disekolah?" tanya Surningsi dengan kaget.

"Ia Bu, saya guru. Tidak ada masalah kok, aku datang ke sini untuk menyatakan melamar Natalia sebagai pendamping hidupku. Aku ingin menikahi dengan putri, Ibu." Tegas Edo.

Edo melanjutkan perkataannya, "Aku ingin keluarga Ibu tinggal di rumah Edo." ujar Edo pada ibu Natalina.

Setelah saling memberi penjelasan. Edo, Surningsi, dan Natalina sepakat antara Edo dan Natalina menikah setelah tamat SMA. Keesok harinya, keluarga Surningsi pindah ke rumah megah Edo dan disambut hangat kedua orang tua Edo.

Setelah bersapa ria antara keluarga Edo dengan keluarga Natalia, Surningsi baru mengetahui bahwa Edo adalah anak satu-satunya.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan Natalina pun lulus sekolah. Dan benar saja apa yang dijanjikan oleh Edo, mereka menikah, kebahagian itu pun dirasakan kedua keluarga itu.

 =====
å Penulis fiksi ini adalah pengelolah halaman facebook Unshakable Team.

0 komentar:

Post a Comment